Rabu, 17 September 2014

Pelukisan Watak Tokoh dan Sudut Pandang Penceritaan

PENGGAMBARAN WATAK TOKOH CERITA / PELUKISAN WATAK TOKOH
Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk menggambarkan watak tokoh dalam cerita karya sastra, yaitu:
1.     Analitik cara ini dilakukan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh secara langsung. Contok: Siapa yang tidak mengenal Didi yang pintar dan selalu ceria. Meskipun secara fisik terlihat pendek namun sosoknya yang ramah dan baik hati kepada teman-temannya membuat dirinya menjadi panutan.
2.     Dramatik ialah cara pengarang untuk menggambarkan tokoh utama secara tersurat, dengan kata lain tidak langsung. Penokohan cara ini bisa melalui penggambaran tempat tinggal, percakapan/dialog antar tokoh, fisik, tingkah laku, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu dan jalan pikiran tokoh.

Dibawah ini contoh paragraf yang menggambarkan tokoh dengan cara dramatik:
Penggambaran Tokoh Melalui Jalan Pikiran Tokoh.
Contoh :
Tatkala aku masuk sekolah MULO, demikian fasih lidahku dalam Bahasa Belanda sehingga orang yang hanya mendengarkanku berbicara dan tidak melihat aku, mengira bahwa aku anak Belanda. Aku pun bertambah lama bertambah percaya pula bahwa aku anak Belanda, sungguh hari-hari ini makin ditebalkan pula oleh tingkah laku orang tuaku yang berupaya sepenuh daya menyesuaikan diri dengan langgam lenggok orang Belanda.
Penggambaran Tokoh Melalui Tingkah Laku/Perilaku Tokoh.
Contoh :
Di siang yang terik itu dia berjalan sendiri. Dengan gontai ia gendong tas itu. Sesekali terlihat bahwa ia menegur dan bahkan bertanya kepada orang yang dilaluinya. Setiap selesai ia bertanya, ia selalu menganggukkan kepalanya sebagai tanda terima kasih.
Penggambaran Tokoh Melalui Dialog Antar Tokoh.
Contoh :
“Kupukul kau kalau tidak mau mengaku. Dengan cara apa lagi aku mendapatkan pengakuanmu.” …………….
3.     Campuran ialah penggambaran watak tokoh melalui penggabungan cara analitik dan dramatik dengan tujuan untuk saling melengkapi.

SUDUT PANDANG PENCERITAAN
Sudut pandang atau point of view di dalam cerita fiksi pada prinsipnya adalah siapa yang menceritakan cerita tersebut. Sudut pandang itu seperti kita melihat sesuatu peristiwa melalui mata 'seseorang'. Kejadian yang sama di mata anak-anak dan orang dewasa tentu berbeda, sehingga sudut pandang sangat berpengaruh pada bagaimana cerita itu akan diceritakan. Bagaimana nuansa, gayanya, dan bahkan makna cerita itu bisa berbeda tergantung sudut pandang mana yang dipakai.
1. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku”menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si ”aku” menjadi tokoh utama (first person central).

Contoh:
Pagi ini begitu cerah hingga mampu mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk tugas yang masih terbengkelai menjadi sedikit teringankan. Namun, aku harus segera bangkit dari tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke Kedubes Australia untuk mengumpulkan berita yang harus segera aku laporkan hari ini juga.


2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku Sampingan

Dalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si ”aku” hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ”aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang berlalu-lalang serta amat membisingkan telinga menjadi santapan sehari-hariku setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan ini. Memang tak mudah untuk menata hati dan diriku menghadapi suasana kota besar, semacam Jakarta, bagi pendatang seperti aku. Dulu, aku sempat menolak untuk dipindahkan ke kota ini. Tapi, kali ini aku tak kuasa untuk menghindar dari tugas ini, yang konon katanya aku sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan perusahaan tempatku bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali ini. Praba, teman satu asramaku , juga mengalami hal yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena merasa satu nasib, harus beradaptasi dengan suasana Kota Jakarta.
“Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet seperti ini. Apakah tidak upaya dari Pemkot DKI mengatasi masalah ini! Rasanya, mendingan posisiku seperti dulu asal tidak di kota ini!” umpatnya.


3. Sudut Pandang Orang Ketiga Serbatahu

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

4. Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat

Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.




5 komentar: