PENGGAMBARAN WATAK TOKOH CERITA / PELUKISAN WATAK
TOKOH
Ada 3
cara yang dapat dilakukan untuk menggambarkan watak tokoh dalam cerita karya
sastra, yaitu:
1.
Analitik cara ini dilakukan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh
secara langsung. Contok: Siapa
yang tidak mengenal Didi yang pintar dan selalu ceria. Meskipun secara fisik
terlihat pendek namun sosoknya yang ramah dan baik hati kepada teman-temannya
membuat dirinya menjadi panutan.
2.
Dramatik ialah cara pengarang untuk menggambarkan tokoh utama secara
tersurat, dengan kata lain tidak langsung. Penokohan cara ini bisa melalui
penggambaran tempat tinggal, percakapan/dialog antar tokoh, fisik, tingkah
laku, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu dan jalan pikiran tokoh.
Dibawah ini contoh paragraf yang menggambarkan tokoh dengan cara
dramatik:
Penggambaran
Tokoh Melalui Jalan Pikiran Tokoh.
Contoh :
Tatkala
aku masuk sekolah MULO, demikian fasih lidahku dalam Bahasa Belanda sehingga
orang yang hanya mendengarkanku berbicara dan tidak melihat aku, mengira bahwa
aku anak Belanda. Aku pun bertambah lama bertambah percaya pula bahwa aku anak
Belanda, sungguh hari-hari ini makin ditebalkan pula oleh tingkah laku orang
tuaku yang berupaya sepenuh daya menyesuaikan diri dengan langgam lenggok orang
Belanda.
Penggambaran
Tokoh Melalui Tingkah Laku/Perilaku Tokoh.
Contoh :
Di siang
yang terik itu dia berjalan sendiri. Dengan gontai ia gendong tas itu. Sesekali
terlihat bahwa ia menegur dan bahkan bertanya kepada orang yang dilaluinya.
Setiap selesai ia bertanya, ia selalu menganggukkan kepalanya sebagai tanda
terima kasih.
Penggambaran
Tokoh Melalui Dialog Antar Tokoh.
Contoh :
“Kupukul
kau kalau tidak mau mengaku. Dengan cara apa lagi aku mendapatkan pengakuanmu.”
…………….
3.
Campuran ialah penggambaran watak tokoh melalui penggabungan cara
analitik dan dramatik dengan tujuan untuk saling melengkapi.
SUDUT PANDANG PENCERITAAN
Sudut
pandang atau point of view di dalam cerita fiksi pada prinsipnya adalah siapa
yang menceritakan cerita tersebut. Sudut pandang itu seperti kita melihat
sesuatu peristiwa melalui mata 'seseorang'. Kejadian yang sama di mata
anak-anak dan orang dewasa tentu berbeda, sehingga sudut pandang sangat
berpengaruh pada bagaimana cerita itu akan diceritakan. Bagaimana nuansa,
gayanya, dan bahkan makna cerita itu bisa berbeda tergantung sudut pandang mana
yang dipakai.
1. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku
Utama
Dalam sudut pandang teknik ini, si ”aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan
tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri,
maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ”aku”menjadi
fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”,
peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan
dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan
diceritakan. Dalam cerita yang demikian,si ”aku” menjadi tokoh utama (first
person central).
Contoh:
Pagi ini begitu cerah hingga mampu
mengubah suasana jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk tugas yang masih
terbengkelai menjadi sedikit teringankan. Namun, aku harus segera bangkit dari
tidurku dan bergegas mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke Kedubes Australia
untuk mengumpulkan berita yang harus segera aku laporkan hari ini juga.
2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku
Sampingan
Dalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan sebagai tokoh utama,
melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ”aku” hadir
untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan
itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.
Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh
utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama
habis, si ”aku”tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si ”aku” hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap
berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ”aku” pada umumnya
tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.
Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang
berlalu-lalang serta amat membisingkan telinga menjadi santapan sehari-hariku
setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan ini. Memang tak mudah untuk
menata hati dan diriku menghadapi suasana kota besar, semacam Jakarta, bagi
pendatang seperti aku. Dulu, aku sempat menolak untuk dipindahkan ke kota ini.
Tapi, kali ini aku tak kuasa untuk menghindar dari tugas ini, yang konon
katanya aku sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan perusahaan tempatku bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali ini. Praba, teman satu
asramaku , juga mengalami hal yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena
merasa satu nasib, harus beradaptasi dengan suasana Kota Jakarta.
“Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet seperti ini. Apakah
tidak upaya dari Pemkot DKI mengatasi masalah ini! Rasanya, mendingan posisiku
seperti dulu asal tidak di kota ini!” umpatnya.
3. Sudut Pandang Orang Ketiga Serbatahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang,
narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia”
tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja
dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang
satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan
dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan,
dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi
pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat
keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja,
atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi,
masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah
saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang
berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.
4. Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat
Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya dalam”dia”mahatahu,
pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau
terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup
banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan
untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya.
Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah.
Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi
sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya
kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari
mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.
Makasih ya
BalasHapusTerima kasih banyak
BalasHapusMakasih kak udah nempel wajah kris di halaman ini
BalasHapuswkwkwk
Bg nya jgn gitu dong. Bingung baca nya
BalasHapusEXO Ot12 gak tuh
BalasHapus